Selasa, 30 Maret 2010

Fasciola Hepatica

Nama Latin : Fasciola hepatica
Phylum : Platyhelminthes
Ordo : Digenea
Family : Fasciolidae
Species : Fasciola hepatica
Kelas : Trematoda

A. Morfologi dan Daur Hidup

Fasciola hepatica merupakan parasit yang menyebabkan Fascioloasis atau “ hati olok “ di ruminants mamalia dan banyak lainnya termasuk orang. Makan vegetasi air sudah umum menjadi penularan infeksi. Fasciola hepatica adalah kosmopolitan distribusi yang ditemukan di semua daerah di seluruh dunia, baik yang sedang dan tropis sehingga dapat menyebabkan penyakit Fascioloasis di seluruh belahan dunia. Fasciola hepatica hidup pada hati domba.
Fasciolosis merupakan penyakit parasiter yang disebabkan oleh cacing pipih (trematoda) dan umumnya menyerang ternak ruminansia, seperti sapi, kerbau dan domba.) Sejak 20 tahun terakhir ini, kasus kejadian fasciolosis pada manusia semakin banyak. Umumnya kasus tersebut terjadi di negara empat musim atau subtropis dan disebabkan oleh cacing trematoda Fasciola hepatica . Fasciolosis di Indonesia hanya disebabkan oleh cacing trematoda F. gigantica . Mengingat tingginya prevalensi penyakit ini pada ternak di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Jawa Barat dapat mencapai 90% dan di Daerah Istimewa Yogyakarta kasus kejadiannya antara 40-90%, maka perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya penularan penyakit ini pada manusia di Indonesia. Ada dugaan bahwa pola makan satu spesies trematoda lain, yaitu Fasciolopsis buski, yang perlu diwaspadai keberadaannya karena dapat menyebabkan fasciolopsiosis pada manusia dan pernah ada laporan kejadiannya di Indonesia.
Penyebab fasciolosis adalah parasit cacing trematoda genus Fasciola sp ., yaitu Fasciola hepatica (Gambar A) dan Fasciola gigantica (Gambar B). Kedua jenis trematoda tersebut menyerang organ hati dan biasa disebut sebagai liver fluke. Selain namanya berbeda, kedua jenis cacing ini mempunyai habitat dan induk semang antara yang berbeda pula. Selain kedua jenis trematoda tersebut di atas, masih ada satu jenis trematoda lain yang dapat menyebabkan fasciolopsiosis pada manusia, yaitu Fasciolopsis buski dan cacing ini menyerang usus manusia dan babi sehingga disebut sebagai intestinal fluke (Gambar C).


Gb. Cacing trematoda dewasa yang menyerang hewan atau manusia


Gb. Siput Lymneaea rubiginosa
Fasciola hepatica merupakan jenis cacing yang tergolong Platyhelminthes dan termasuk kelas Trematoda dan biasanya menyerang di bagian liver atau hati. Pada saat cacing dewasa mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya kira-kira 30 x 13 mm. pada bagian anterior berbentuk seperti kerucut dan pada pundak kerucut terdapat batil isap mulut yang besarnya kira-kira 1 mm. sedangkan pada bagian dasar kerucut terdapat batil isap perut yang besarnya kira-kira 1.6 mm. saluran pencernaan bercabang-cabang sampai ke ujung distal sekum. Testis dan kelenjar vitelin juga bercabang-cabang. Pada Fasciola hepatica tidak terdapat sistem pernafasan. Cacing dewasa Fasciola hepatica penjangnya ± 2,5 cm, batil isap kepala batil isap perut berdekatan, bagian kepala seperti kerucut, dua sekum bercabang-cabang, ovarium bercabang-cabang, dua testis juga bercabag-cabang, kelenjar vitelaria hampir mengisis seluruh bagian tubuhnya. Sistem pencernaannya semacam kantong usus dengan single lubang , dimana menjalani sebagai mulut dan anus. Dalam bentuk simpel usus tidak bercabang tetapi pada yang lain, percabangan terjadi yang dapat menembus ke semua bagian tubuh hal ini membuat sistem sirkulasi tidak diperlukan. Cacing Fasciola spp dewasa dapat bertahan hidup di dalam hati ternak ruminansia antara 1-3 tahun.
Telur cacing akan keluar dari tubuh ternak ruminansia bersama feses, dan pada lingkungan yang lembab, telur tersebut dapat bertahan antara 2-3 bulan.Telur Fasciola hepatica berukuran ± 140x80 mikron, operculum kecil, berisis morula, dikeluarkan melalui saluran empedu ke dalam tinja dalaqm keadaan belum matang. Telur menjadi matang dalam air setelah 9 – 15 hari dan berisi mirasidium. Telur akan menetas dan mengeluarkan mirasidium, penetasan umumnya terjadi pada siang hari. Telur cacing Fasciola hepatica akan menetas dalam 12 hari pada suhu 26°C. Sedangkan telur cacing F. gigantica akan menetas dalam 14-17 hari pada suhu 280C. Telur kemudian menetas dan mirasidium keluar dan mencari keong air, dalam keong air terjadi perkembangan. Suhu yang diperlukan mirasidium untuk dapat hidup adalah di atas 5-6 °C dengan suhu optimal 15-24 °C. Mirasidium harus masuk ke dalam tubuh siput dalam waktu 24-30 jam, bila tidak maka akan mati. Mirasidium tersebut memiliki cilia (rambut getar) dan sangat aktif berenang di dalam air untuk mencari induk semang antara yang sesuai, yaitu siput Lymnaea sp . Pada suhu 30°C, mirasidium lni hanya bertahan hidup selama 5-7 jam. Segera setelah mirasidium tersebut menemukan siput Lymnaea sp., maka cilianya akan terlepas dan mirasidium tersebut akan menembus masuk ke dalam tubuh siput. Dalam waktu 24 jam di dalam tubuh siput, mirasidium tersebut akan berubah menjadi sporosis. Kemudian, telur dari jenis Fasciola gigantica menetas dalam waktu 17 hari, berkembang dalam tubuh siput selama 75-175 hari, hal ini tergantung pada suhu lingkungannya.
Delapan hari kemudian sporosis tersebut akan berkembang menjadi redia, dari 1 sporosis akan tulnbuh menjadi 1-6 redia. Redia tersebut akan menghasilkan serkaria dan keluar dari tubuh siput. Serkaria tersebut memiliki ekor sehingga ketika berada di luar tubuh siput akan berenang, kemudian akan menempel pada benda apa saja di dalam air yang dilaluinya termasuk pada rumput, jerami atau tumbuhan air lainnya. Serkaria keluar dari keong air dan berenang mencari hospes perantara II, yaitu tumbuh-tumbuhan air dan pada permukaan tumbuhan air dibentuk metaserkaria. Metaserkaria ini merupakan bentuk infektif cacing Fasciola spp., sehingga bila ada hewan ternak pemakan rumput, jeralni atau tumbuhan air lainnya yang terkontaminasi metaserkaria, maka akan tertular dan menderita penyakit fasciolosis . Pada suhu rendah, sekitar 14°C, metaserkaria ini dapat bertahan hidup sampai 3-4 bulan, sedangkan bila terkena sinar matahari langsung akan cepat mati dan tidak infektif lagi. Bila ditelan, metaserkaria menetas dalam lambung binatang yang memakan tumbuhan air tersebut dan larvanya masuk ke saluran empedu dan menjadi dewasa.
Dalam daur hidup cacing hati ini mempunyai dua macam tuan rumah yaitu: 1.Inang perantara yaitu siput air
2. Inang menetap,yaitu hewan bertulang belakang pemakan rumput seperti sapi dan domba.





Gb. Fasciola hepatica


Gb. Perkembangan larva Fasciola hepatica

Gb. Daur hidup Fasciola hepatica secara sederhana














Siklus hidup:




Belum matang telur yang habis dalam biliary ducts dan di bangku .   Telur menjadi embryonated dalam air , Telur melepaskan miracidia , Yang melanggar yang cocok snail intermediate host , Termasuk genera Galba, Fossaria dan Pseudosuccinea. Pada siput parasit yang menjalani beberapa tahapan pembangunan (sporocysts , Rediae , Dan cercariae ).  Cercariae yang dirilis dari siput dan encyst sebagai metacercariae pada vegetasi atau air permukaan lainnya. Mammals mendapatkan infeksi oleh makan tumbuh-tumbuhan yang mengandung metacercariae. Manusia dapat terinfeksi oleh ingesting metacercariae-tanaman yang berisi air tawar, terutama air .   Setelah proses menelan, yang metacercariae excyst di usus duabelas jari dan bermigrasi melalui dinding usus, yang selaput rongga, dan hati parenchyma ke biliary ducts, di mana mereka berkembang menjadi dewasa . Dalam manusia, pematangan dari metaserkaria menjadi flukes dewasa berlangsung sekitar 3 sampai 4 bulan. Fluks dewasa Fasciola hepatica hingga 30 mm, Fasciola gigantica hingga 75 mm, berada di bilibary ducts dari hubungan dengan binatang menyusui host. Fasciola hepatica menulari berbagai jenis binatang, kebanyakan herbivora.

B. Distribusi Geografik

Fasciola hepatica umumnya ditemukan di negara empat musim atau subtropis seperti Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa, Afrika Selatan, Rusia, Australia dan New Zealand Dalam siklus hidupnya, cacing Fasciola hepatica memerlukan induk semang utama, yaitu siput Lymnaea truncatula di Eropa dan Asia, Lymnaea tomentosa di Australia, Lymnaea Bulimoides di Amerika Utara don Lymnaea collumella di Hawaii, Puerto Rico, New Zealand dan Afriko Selatan. Di Perancis ditemukan secara alami, siput Lymnaea ovula dan siput Planorbis leucostoma dapat terinfeksi Fasciola hepatica dengan prevalensi masing-masing sebesar 1,4% don 0,1%. Sedangkan Fasciola gigantica pada umumnya ditemukan di negara tropis dan subtropis, seperti India, Indonesia, Jepang, Filipina, Malaysia, dan Kamboja. Induk semang antara utama cacing Fasciola gigantica adalah siput Lymnaea rubiginosa di Asia Tenggara termasuk Indonesia, Lymnaea rufescens di India dan Lymnaea natalensis di Afrika dan Lymnaea ollula di Hawaii. Antara tahun 1970 sampai dengan tahun 1990, telah terjadi kasus kejadian fasciolosis yang disebabkan oleh Fasciola hepatica pada 2594 orang di 42 negara. Ada juga yang mngemukakan bahwa penderita fasciolosis adalah sekitar 17 juta orang di seluruh dunia pada saat itu. Negara-negara empat musim atau subtropis yang pernah melaporkan adanya kasus kejadian fasciolosis yang disebabkan oleh Fasciola spp., adalah Bolivia, Peru, Perancis, Portugal, Spanyol, Tajikistan, Perbatasan Afghanistan, Canada, Mexico, Cuba, Kenya, Ethiopia, Tunisia, Zimbabwe, Australia, New Zealand, Chili, Corsica, Mesir, Puerto Rico, Cina, Taiwan, India dan Bangladesh.
Indonesia sangat beruntung dibandingkan dengan negara Asia lainnya, seperti India, Kamboja dan Filipina, karena spesies cacing Fasciola yang menyerang ternak ruminansia hanya satu spesies, yaitu Fasciola gigantica dan induk semang antaranya pun hanya satu, yaitu siput Lymnaea rubiginosa. Selain Fasciola gigantica, di Indonesia ada satu spesies trematoda lainnya yaitu, Fasciolopsis buski dan kasus kejadiannya pada manusia juga pernah terjadi. Kasus tersebut terjadi di pedalaman Kalimantan Selatan yang menyerang anak - anak usia 10-12 tahun. Fasciola buski juga ditemukan di negara Asia lainnya, seperti di Cina, India, Bangladesh, Thailand, Taiwan dan Vietnam. Induk semang antara cacing Fasciola buski adalah 2 jenis siput dari famili Planorbidae, yaitu Segmentia trochoideus dan Hippeutis umbilicalis. Di negara-negara tersebut kasus kejadiannya pun banyak terjadi pada anak-anak dengan prevalensi yang cukup tinggi, yaitu antara 10-57%.
Di Amerika Latin, Prancis dan negara-negara sekitar Laut Tengah banyak ditemukan kasus fasioliasis pada manusia. Fascioliasis terjadi di seluruh dunia. Manusia dengan infeksi Fasciola hepatica yang ditemukan di tempat domba dan ternak yang dibangkitkan dan dimana manusia mengkonsumsi air mentah termasuk Eropa, Timur Tengah dan Asia. Infeksi dengan Fasciola gigantica dilaporkan, lebih jarang, di Asia, Afrika, dan Hawaii.

C. Epidemiologi

Fasciolosis merupakan penyakit parasiter yang disebabkan oleh cacing pipih (trematoda) dan umumnya menyerang ternak ruminansia, seperti sapi, kerbau dan domba. Telah dilaporkan sejak 20 tahun terakhir ini, kasus kejadian fasciolosis pada manusia semakin banyak. Umumnya kasus tersebut terjadi di negara empat musim atau subtropis dan disebabkan oleh cacing trematoda Fasciola hepatica . Fasciolosis di Indonesia hanya disebabkan oleh cacing trematoda Fasciola gigantica . Mengingat tingginya prevalensi penyakit ini pada ternak di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Jawa Barat dapat mencapai 90% dan di Daerah Istimewa Yogyakarta kasus kejadiannya antara 40-90%, maka perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya penularan penyakit ini pada manusia di Indonesia. Ada dugaan bahwa pola makan tertentu pada manusia dapat mengakibatkan terjadinya fasciolosis pada manusia di Indonesia . Selain itu ada satu spesies trematoda lain, yaitu Fasciolopsis buski, yang perlu diwaspadai keberadaannya karena dapat menyebabkan fasciolopsiosis pada manusia dan pernah ada laporan kejadiannya di Indonesia.
Fascioliasis merupakan sebuah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit Fasciola hepatica atau Fasciola gigantica yang dapat mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia. Hingga 17 juta orang yang terinfeksi dan sekitar 91,1 juta beresiko infeksi . Hari ini, fascioliasis diakui sebagai muncul dan muncul kembali dan kemudahan dengan luas latitudinal dan longitudinal distribusi dikenal untuk penyakit zoonosis. Oleh karena itu, World Health Organization fascioliasis telah diklasifikasikan sebagai ciri penyakit parasit manusia yang penting dan menjadi kepentingan serta menjadi perhatian internasional. Sebagian besar orang yang terkena zoonosis ini berada di Andes wilayah Amerika Selatan, di mana prevalensi hingga 71%. Dalam dekade terakhir ini lebih dari 1700 orang di Peru telah dilaporkan terinfeksi Fasciola hepatica.
Sumber utama penularan fasciolosis pada manusia adalah dari kebiasaan masyarakat yang gemar mengkonsumsi tanaman atau tumbuhan air, seperti selada air dalam keadaan meneah yang tercemar metaserkaria cacing Fasciola spp. Kelestarian semua cacing dari kelas trematoda di suatu daerah mutlak memerlukan minimal satu inang antara yang berupa siput. Oleh karena itu inang definitif harus berada dalam satu lingkungan dengan siput inang antara tersebut. Khusus dalam kasus fasciolosis, penularan ditentukan oleh keberadaan siput dari Famili Lymnaeidae, keberadaan hewan mamalia peka lain di sekitar tempat tinggal penduduk dan iklim. Babi dan keledai dapat berperan sebagai hewan reservoir fasciolosis yang disebabkan oleh Fasciola hepatica . Sedangkan hewan Rattus rattus (tikus) diduga memegang peranan cukup penting dalam menyebarkan penyakit ini. Selain akibat mengkonsumsi tanaman air dalam keadaan mentah, ternyata penularan penyakit ini dapat pula terjadi akibat penggunaan air yang tercemar metaserkaria Fasciola spp, misalnya air tersebut diminum dalam keadaan mentah. Jumlah metaserkaria Fasciola buski yang hanyut di permukaan air dapat mencapai sekitar 3,6% dari total metaserkaria yang dikeluarkan oleh siput. Penularan fasciolosis yang disebabkan oleh Fasciola Hepatica pada manusia dapat pula terjadi akibat kebiasaan sebagian masyarakat di Eropa yang gemar mengkonsumsi hati mentah. Dugaan ini berdasarkan pengamatan yang memberikan hati mentah yang mengandung cacing Fasciola hepatica muda pada mencit, yang mana kemudian cacing tersebut berkembang menjadi dewasa di dalam tubuh mencit. Infeksi fasciolopsiosis pada manusia yang disebabkan oleh Fasciola buski, selain memakan tumbuhan air, adalah akibat memakan sejenis kacang yang disebut water chestnut . Infeksi terjadi bukan karena kacangnya yang mengandung metaserkaria tetapi akibat dari cara makan kacang tersebut, yaitu pada saat mengupas kulit kacang dengan cara menggigit dan tanpa disadari metaserkaria Fasciola Buski yang menempel pada kulit kacang tersebut masuk ke dalam mulut dan tertelan. Kasus kejadian fasciolosis dapat berlangsung sepanjang tahun. Kasus kejadian fasciolosis terbanyak di Perancis terjadi pada saat musim panen tanaman atau tumbuhan air yang berkaitan dengan musim hujan, yaitu sekitar bulan Oktober sampai dengan April, dimana puncak musim hujan terjadi antara bulan November sampai dengan Februari. Sedangkan di negara Eropa lainnya, infeksi fasciolosis terjadi pada musim panas dan gugur, namun gejala klinisnya baru timbul pada musim dingin. Apalagi bila musim panasnya sangat panjang, sudah dapat dipastikan akan diikuti adanya wabah fasciolosis pada manusia. Di Afrika bagian Utara, puncak kejadian fasciolosis akut adalah pada bulan Agustus, dilaporkan bahwa 1% dari tanaman selada air yang dijual di pasar tradisional Peru mengandung metaserkaria Fasciola sp. Ada pula yang mengatakan bahwa 10,5% sayuran hijau yang dijual di pasar Samarkand juga mengandung metaserkaria Fasciola sp. Kasus kejadian fasciolosis pada manusia yang diakibatkan oleh Fasciola gigantica mungkin saja terjadi di Indonesia . Mengingat ada sebagian masyarakat Indonesia terutama di Jawa Barat yang gemar makan sayuran mentah sebagai lalapan, seperti selada air . Di kawasan peternakan sapi dengan prevalensi kejadian fasciolosis yang mencapai 90%, masyarakatnya juga memiliki kesukaan mengkonsumsi sayuran mentah. Walaupun kejadian fasciolosis pada manusia tidak ditentukan dan tidak berhubungan dengan tingkat kejadian fasciolosis pada hewan, namun dengan pernah adanya laporan kasus kejadian fasciolopsiosis yang disebabkan Fasciola buski di Indonesia dan belum pernah ada laporan kasus kejadian fasciolosis yang disebabkan oieh Fasciola gigantica, maka perlu dilakukan penelitian epidemiologi untuk mengkaji keberadaan penyakit tersebut di Indonesia, sekaligus membuktikan kebenaran keeratan hubungan antara tingkat kejadian penyakit pada hewan dan manusia.

D. Patologi dan Diagnosis

Migrasi cacing dewasa muda ke saluran empedu menimbulkan kerusakan parenkim hati. Saluran empedu mengalami peradangan, penebalan dan sumbatan sehingga menimbulkan sirosis periportal. Kerusakan parenkim hati, peritonitis, kolesistitis, sirosis periportal.
Masa inkubasi fasciolosis pada manusia sangat bervariasi, karena dapat berlangsung dalam beberapa hari, dalam 6 minggu, atau antara 2-3 bulan, bahkan dapat lebih lama dari waktu tersebut di atas. Gejala klinis yang paling menonjol adalah adanya gejala anemia. Selain itu dapat pula terjadi demam dengan suhu badan antara 40-42°C, nyeri di bagian perut dan gangguan pencernaan. Bila penyakit berlanjut, dapat terjadi hepatomegali, asites di rongga perut, sesak nafas dan gejala kekuningan (jaundice). Selain itu, dalam kasus fasciolosis kronis, dapat mengakibatkan terbentuknya batu empedu, sirosis hati dan kanker hati. Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja, cairan duodenum / cairan empedu. Reaksi serologi sangat membantu untuk menegakkan diagnosis.
Diagnosa penyakit fasciolosis dilakukan dengan 2 cara, yaitu melalui pemeriksaan tinja dan pemeriksaan darah. Pemeriksaan tinja merupakan cara yang paling umum dan sederhana, dengan maksud untuk menemukan adanya telur cacing, dengan menggunakan uji sedimentasi. Sedangkan dari darah penderita dapat dilakukan pemeriksaan dengan uji serologi Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk mengetahui adanya peningkatan antibodi atau antigen di dalam tubuh penderita . Pada infeksi parasiter umumnya sel darah putih yang meningkat tajam adalah eosinofil, walaupun hal ini tidak spesifik, dan seringkali diikuti dengan peningkatan isotipe antibodi imunoglobulin E (IgE) di dalam serum darah. tingkat isotipe antibodi IgE berkorelasi positif dengan jumlah telur cacing dalam tinja, usia penderita, gejala klinis dan jumlah eosinofil. Selain peningkatan kadar IgE dalam darah,bahwa isotipe antibodi yang paling awal dapat terdeteksi adalah IgG 1 dan IgG4. Uji ELISA umum dikembangkan untuk diagnosis fasciolosis menggunakan antigen dari ekstrak cacing dewasa, atau ekskretori/sekretori (ES) atau rekombinan. Uji ELISA-antibodi sering diikuti dengan uji imunobloting, uji imunobloting pada serum manusia, kelinci, sapi dan domba yang terinfeksi Fasciola hepatica mempunyai 2 pita protein yang sama, yaitu protein dengan berat molekul 17 kDa dan 63 kDa. Uji ELISA untuk deteksi antigen pada serum darah manusia yang terinfeksi Fasciola hepatica telah dikembangkan oleh ESPINO et al. (1990), dengan menggunakan anti-AES mouse monoclonal antibody (IgG2a) . Sedangkan ARAFA et al. (1999) menggunakan protein yang spesifik, yaitu mono-spesifik protein ES anti-49,5 kDa dengan sensitifitas 91,4% dan spesifisitas 92,3%, serta tingkat akurasi 91,8% . Selain untuk menguji serum, uji ELISA-antigen dapat pula digunakan untuk deteksi sirkulasi antigen yang terdapat pada tinja penderita fasciolosis, dan perangkat uji ELISA-antigen ini telah diperdagangkan secara komersial di Kuba. Di Indonesia uji ELISA-antibodi baru dilakukan pada serum darah ternak ruminansia yang terinfeksi Fasciola gigantica. Uji ELISAantigen Fasciola gigantica dalam tinja ternak ruminansia yang telah dilakukan, menunjukkan sensitifitas 95% dan spesifisitas 91%, namun uji ELISA ini belum pernah digunakan untuk memeriksa sampel darah maupun tinja manusia.





E. Terapi

Bila upaya pencegahan sudah dilakukan namun tetap terinfeksi fasciolosis, maka kasus ini dapat diobati dengan beberapa macam anthelmintik, seperti Bithionol, Hexachloro-para-xylol, Niclofolan, Metronidazole dan Triclabendazole. Namun dari semua obat cacing tersebut di atas, hanya Triclabendazole yang paling efektif untuk menyembuhkan fasciolosis pada manusia, dengan dosis 10 mg/kgBB yang diberikan 2 kali per oral dengan interval pemberian selama 12 hari. Emetin HCl, diklorofenol ( Bitionol ), prazikuantel.

F. Pencegahan

Upaya pencegahan penularan penyakit fasciolosis pada manusia dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan mengubah kebiasaan pola makan pada masyarakat, seperti tidak mengkonsumsi hati mentah maupun sayuran mentah, serta selalu minum air yang telah direbus terlebih dulu. Diketahui ada penurunan kasus fasciolosis di Spanyol karena masyarakatnya mengubah kebiasaan makan. Kalaupun tetap harus mengkonsumsi sayuran mentah, sebaiknya sayuran tersebut dicuci dahulu dengan larutan cuka atau larutan potassium permanganat sebelum dikonsumsi.
Pengendalian penyakit dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan:
Sifat biologis cacing hati: telur, larva, dan dewasa.
Sifat biologis siput: dinamika populasi, habitat, dan sebaran siput.
Musuh alami cacing: cacing daun, Echinostoma sp., strigeids dan lain-lain.
Potensi berbagai obat cacing.
Pola pengendalian penyakit meliputi:
Limbah kandang sebagai pupuk padi harus dikomposkan.
Pengobatan pada sapi yang terserang penyakit Fasciolosis
Jerami dari sawah dekat kandang sebagai pakan ternak harus dipotong setinggi 1-1,5 jengkal dari tanah (di atas galengan), dipotong-potong dan dijemur.
Tidak menggembalakan ternak di daerah berair atau pernah diairi.
Pengobatan pada musim kering/kemarau.


























DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2007.http://peternakan.litbang.deptan.go.id/publikasi/wartazoa/wazo142-4.pdf. diakses tanggal 14 April 2009

Gandahusada, Srisasi. 2000. Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Mohammad, Nenad. 2008. http://www.nenadmohamed.com/2008/08/fasciola-hepatica.html. diakses tanggal 14 April 2009

Prianto L.A., Juni. 2003. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Tarigan,kristina.2009.http://kristinatarigan.blogspot.com/2009/04/platyhelminthes.html. diakses tanggal 14 April 2009

Widjajanti, S. 2006. Fasciolosis pada manusia: mungkinkah terjadi di Indonesia?. Balai Penelitian Veteriner: Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar