TUGAS KELOMPOK
PENYAKIT ANTRAX
( AKIBAT PENGGUNAAN WOL )
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Program Kesehatan Kerja
Dosen : Eram Tunggul Pawenang, M.Kes
Oleh
1. Ima Rokhima (6450406084)
2. Silvia Altiara (6450406086)
3. Anggiyani Larasati (6450406095)
4. Apriani Kurniasari (6450406097)
Rombel : 02
JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2009
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Antraks disebut juga malignant pustule, malignant edema, Charbon, Ragpicker disease, atau Woolsorter disease. Penyakit antraks adalah penyakit yang disebabkan oleh Bacillus anthracis pada binatang (zoonotik) ternak dan binatang buas yang bisa ditularkan ke manusia. Terminologi kata antraks (dari bahasa Yunani ‘anthrax’ yang berarti arang atau batubara; dalam bahasa Inggris disebut coal; dan dalam bahasa Perancis disebut charbon) muncul karena di kulit penderita terbentuk luka yang berwarna hitam.
Penyakit ini menjadi lebih menarik perhatian para ahli karena isu terorisme yang berupa spora antraks melalui kertas atau amplop surat. Spora yang terhisap oleh manusia dan menyebabkan antraks paru yang mortalitasnya lebih tinggi daripada antraks tipe kulit.
Sejarah penyakit ini mulai dikenal pada tahun 1752 sebagai malignant pustule. Pada tahun 1780 Chabert melaporkan lebih detail tentang penyakit antraks pada hewan Hewan yang sering diserang adalah sapi, kambing, kuda dan babi. Oleh sebab itu, penularan penyakit ini sangat berhubungan dengan pekerjaan peternak, petyani, pekerja di tempat pemotongan hewan, doklter hewan, dan pekerja pabrik yang mengolah hasil-hasil peternakan.
Hampir semua hewan berdarah panas bisa terkena penyakit antraks. Di Indonesia, penyakit ini sering dijumpai pada kerbau, sapi, kambing, domba, kuda, dan babi. Dari studi epidemiologi bacillus anthracis ini menyukai tanah berkapur dan tanah yang bersifat basa (alkalis). Umumnya antraks menyerang hewan pada musim kering (kemarau), dimana rumput sangat langka, sehingga sering terjadi pada ternak (terutama kuda) tertular lewat makan rumput yang tercabut sampai akarnya. Lewat akar rumput inilah bisa terbawa pula spora dari antraks. Gejala klinis pada hewan yang terkena antraks mulai dari demam tinggi, keluar keringat berlebih, bengkak pada buah zakar, pelipatan paha dan kepala bagian bawah. Beberapa hewan juga disertai kolik, diare, dan merusak sistem limfe (kelenjar getah bening). Perkembangan penyakit jika sudah masuk aliran darah hewan akan mengakibatkan kematian yang sangat cepat. Kematian umumnya oleh pengaruh toksin yang menimbulkan gangguan pada saraf pusat, berupa kelumpuhan dan kagagalan pusat pernafasan.
Manusia bisa tertular penyakit antraks melalui kulit yang terluka setelah kontak dengan hewan atau hasil hewan, terhirup (inhalasi) atau melalui makanan. Orang yang terkena penyakit antraks biasanya peternak, pemotong hewan, pekerja pada industri wool, kulit, atau masyarakat luas yang mengonsumsi daging yang mengandung bacillus anthacis. Risiko tertular penyakit ini akan sangat tinggi di daerah-daerah yang terdapat pemeliharaan hewan ternak dalam jumlah besar, seperti di Propinsi NTT yang terkenal sebagai salah satu gudang ternak di Indonesia. Masa inkubasi umumnya bervariasi antara 2-7 hari.
Tingkat Kematian Manusia Akibat Anthrax Mencapai 18 Persen. Penyakit Anthrax memang layak ditakuti karena sangat mematikan. Sapi, domba atau kambing yang terserang, akan menemui ajal dalam hitungan jam. Kemampuan membunuh yang sangat cepat ini justru ada baiknya, karena penularan penyakit anthrak sangat lambat dan tak meluas (endemik, sporadik). Lain dengan flu yang bisa mewabah hampir di semua muka bumi dengan begitu cepatnya.
Antraks merupakan salah satu penyakit tertua yang dikenal. Penyakit ini pernah menjadi epidemi; misalnya pada tahun 1600-an sebagai epidemi di Eropa dan dikenal sebagai black bane disease. Kemudian pada tahun 1979, epidemi di Zimbabwe melibatkan tak kurang dari 6000 penderita. Pada tahun itu pula terjadi kecelakaan instalasi militer di Rusia yang menyebabkan 66 kematian manusia akibat antraks pulmonal. Penyebabnya, yaitu kuman antraks merupakan kuman tertua yang berhasil diisolasi dan dibuktikan sebagai penyebab penyakit. Kuman antraks pertama kali diisolasi oleh Robert Koch pada tahun 1877. Sedangkan vaksinnya pertama kali dikembangkan oleh Louis Pasteur pada tahun 1881. Walaupun penyakit alaminya sudah banyak berkurang, antraks kembali menarik perhatian masyarakat karena dapat digunakan sebagai senjata biologis yang sangat ampuh. WHO memperkirakan bahwa jika 50 kg bubuk spora antraks disebar di kota yang berpenduduk 500.000 jiwa, maka akan terjadi infeksi pada 125.000 jiwa dengan angka kematian mencapai 95.000 jiwa. Kenyataannya, pada tahun 1940-an tercatat sebuah negara menggunakan antraks sebagai senjata biologis dalam peperangan. Setelah itu kalangan internasional mencatat beberapa negara lain telah berhasil mengembangkannya sebagai senjata biologis. Yang lebih menyedihkan adalah adanya upaya kalangan tertentu memakai antraks untuk kegiatan terorisme. Pada tahun 1995 misalnya, sekte Aum Shinrikyo di Jepang diduga telah mencoba memakai antraks untuk kegiatan teror, walaupun belum berhasil. Kemudian tahun 1998, seorang warga negara Amerika mencoba pula menggunakannnya untuk kegiatan teror di Las Vegas. Terakhir tahun 2001 terjadi wabah antraks di Amerika Serikat melibatkan puluhan penderita yang diduga berkaitan dengan terorisme. Isu terorisme dengan menyebarkan kuman antraks sebagai senjata mengguncang berbagai negara dan menyebabkan kepanikan berbagai kalangan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud penyakit antraks?
2. Bagaimana epidemiologi penyakit antrax?
3. Bagaimana pencegahan penyakit antrax?
4. Bagaimana penulaaran penyakit antrax?
5. Bagaimana pengobatan penyakit antrax?
6. Bagaimana pula dengan penyakit antrax pada industri ?
1.4 Tujuan
Untuk mngetahui :
1. Definisi penyakit antrax.
2. Epidemiologi penyakit antrax
3. Pencegahan penyakit antrax
4. Penularan penyakit antrax
5. Pengobatan penyakit antrax
6. Penyakit antrax pada industri
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Antrax
2.1.1 Epidemiologi
Serangan penyakit antrax pada manusia umumnya bersifat sporadis, tersebar diseluruh penjuru dunia, yang ditularkan dari Asia, Eropa, dan Afrika melalui lalu lintas perdagangan ternak. Perkiraan prevalensi seluruh dunia per tahun adalah 10.000-100.000 orang.
Dibandingkan dengan herbivora, manusia relatif resisten terhadap kuman antraks. Pada saat ini, infeksi alami antraks pada manusia dapat digolongkan secara epidemiologis atas dua jenis, yaitu; (i). Antraks yang umumnya terdapat di wilayah pedesaan. Dalam hal ini antraks terjadi akibat kontak erat manusia dengan binatang atau jaringan binatang yang terinfeksi, (ii). Antraks di daerah industri yang umumnya mengenai pekerja yang menangani wool, tulang, kulit dan produk binatang lain. Antraks yang didapat sebagai akibat kontak erat dengan binatang terinfeksi umumnya berbentuk antraks kulit dan jarang berbentuk antraks saluran cerna.
Di Indonesia, antraks pada binatang ditemukan di sebelas propinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jambi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Papua (Irian Jaya). Walaupun demikian dalam kurun waktu 1996-2001, hanya empat propinsi yang melaporkan antraks pada manusia, yaitu (i) Jawa Barat yang meliputi Kabupaten Purwakarta, Subang, Bekasi, Karawang dan Bogor, (ii) Jawa Tengah yang meliputi kabupaten Boyolali, Semarang, Kudus, Demak, Kotamadya Solo dan Salatiga, (iii) Nusa Tenggara Barat yang meliputi kabupaten Sumbawa dan Bima dan (iiii) Nusa Tenggara Timur yang meliputi kabupaten Ngada dan Manggarai. Kekerapan antraks endemis di Indoensia biasanya musiman; tertinggi pada musim hujan.
Selama periode tahun 1965-1980 di Inggris ditemukan 145 kasus yang 23 di antaranya tidak berhubungan dengan pekerjaan. Dari 23 kasus tersebut, 19 orang adalah laki-laki dan 15 orang penderita mempunyai pekerjaan yang berhubungan dengan makanan ternak.
Di Indonesia, kasus antraks pada manusia pertama kali dilaporkan di Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 1832. Tercatat 36 penderita meninggal setelah makan daging pada tahun 1969 di daerah itu. Empat tahun kemudian, empat orang lagi meninggal setelah mengonsumsi daging yang terinfeksi antraks saat pelacakan.
Infeksi antraks menyebar ke seluruh tanah air. Telah dilaporkan terjadi KLB antraks di Teluk Betung Provinsi Lampung pada tahun 1884, Kabupaten Buleleng Provinsi Bali dan Palembang Sumatera Selatan pada tahun 1885, Kabupaten Bima NTB pada tahun 1976, dan Kabupaten Paniai Papua pada tahun 1985 dengan ribuan ternak mati dan 11 orang meninggal karena mengonsumsi daging babi.
KLB juga menyerang Jawa Tengah pada tahun 1990 di Kabupaten Semaratng, Boyolali, dan Demak dengan total kasus 48 orang tanpa kematian. Pada tahun 2000 terjadi KLB di Kabupaten Purwakarta Jawa Barat dengan 32 kasus, tahun 2001 di Kabupaten Bogor dengan 22 orang pasien dengan kematian 2 orang (CFR=9%).
Saat ini sudah 11 provinsi di Indonesia tertular antraks, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, NTB, NTT, Sumbar, Jambi, Sulteng, Sultra, dan Papua. Total kasus di Indonesia pada tahun 1992-2001 adalah 599 kasus dengan kematian 10 orang.
2.1.2 Etiologi
Bacillus anthracis adalah bakteri gram positif, tidak bisa bergerak, berkapsul, dan mampu membentuk spora. Pembentukan spora terjadi pada keadaan aerob dan sedikit kalsium, yaitu di alam terbuka seperti tanah atau udara luar. Kuman vegetatif akan segera mati pada keadaan itu, sehingga kuman menjadi inaktif dan membentuk spora yang bisa bertahan hidup bertahun-tahun pada tanah dan produk hewan seperti bulu.
Bakteri ini mempunyai ukuran 1-2 μm x 5-10 μm, berbentuk batang, ujung batang berbatas tegas, tersusun berderet-deret yang membentuk formasi seperti ruas bambu atau batu bata memnajang. Spora antraks berbentuk oval, tidak terlihat pada pewarnaan Gram kecuali dengan pewarnaan khusus. Spora antraks tahan terhadap cuaca panas dan dingin dan akan kembali aktif setelah masuk ke dalam tubuh hewan. Pada tanah kering, spora dapat bertahan selama 60 tahun. Spora akan mati pada suhu 100 ºC (suhu air mendidih) dalam waktu 10 menit, pada karbol 5% dalam waktu 40 hari, pada formalin 10% dalam waktu 4 jam, dan pada hidrogen peroksida dalam waktu 1 jam.
Kuman antraks dapat tumbuh optimal pada media umum di laboratorium, misalnya pada media agar bernutrisi atau media agar darah pada suhu 37 ºC dan pH 7-7,4. Bakteri vegetatif mudah mati dan antibiotik, disinfektan, atau antiseptik. Kuman mati pada suhu 54 ºC dalam waktu 30 menit.
2.1.3 Penularan
Penularan pada kuman biasanya melalui cara-cara di bawah ini :
1. Kontak dengan kulit manusia yang lesi, lecet, atau abrasi.
2. Mengonsumsi daging yang terkontaminasi kuman vegetatif atau spora melalui tangan.
3. Menghisap spora di tempat kerja yang berkaitan dengan produk hewan.
4. Digigit serangga yang baru saja menggigit hewan infektif (jarang).
2.1.4 Gejala dan Tanda
Jumlah spora yang bisa mengakibatkan manifestasi klinis pada manusia adalah beberapa ribu sampai 40.000 spora. Masa inkubasinya 7 hari dengan rata-rata 2-5 hari. Secara klinis antraks dibedakan menjadi :
1. Antraks kulit
Tipe ini merupakan tipe terbanyak, yang mencakup 90% kasus antraks di Indonesia. Antraks tipe ini bermula dengan rasa gatal yang kemudian menjadi vesikel, lalu pecah, gdan terbentuk ulkus yang ditutupi kerak hitam kering (eschar).
2. Antraks saluran pencernaan
Gejala antraks tipe ini bermula dengan sakit perut yang hebat, mual, muntah, dan demam. Penderita tertular akibat menelan daging yang terkontaminasi spora. Mortalitasnya cukup tinggi (CFR= 25-75%).
3. Antraks paru
Tipe ini paling jarang ditemukan. Penularan terjadi karena spora terhisap oleh penderita. Gejalanya tidak khas, bisa berupa batuk, lesu, lemah dan tanda-tanda bronkitis lainnya. Angka kematian tipe ini adalah paling tinggi, sekitar 75-90%.
4. Antraks otak
Tipe ini sangat jarang, biasanya merupakan komplikasi dari tipe-tipe lainnya.
2.1.5 Pengobatan
Obat pilihan utama untuk antraks adalah penisilin. Bila pasien hipersensitif terhadap penisilin, obat ini dapat diganti dengan tetrasiklin, kloramfenikol, atau eritromisin. Untuk antraks tipe kulit diberikan penisilin prokain 2x1,2 juta unit/ hari selama 5-7 hari yang dilakukan secara intramuskular, atau benzil penisilin 4x250.000 unit/hari secara intramuskular dengan melakukan skin test terlebih dahulu.
Untuk antraks tipe saluran pencernaan, dapat diberikan tetrasiklin 1 gram/hari dan untuk antraks tipe paru diberikan IVFD penisilin G 18-24 unit/hari ditambah streptomisin 1-2 gram.
2.1.6 Pencegahan
Upaya yang dapat dilakukan dalam rangka pencegahan antraks adalah sebagai berikut :
1. Penyembelihan hewan hanya dilakukan di rumah potong, di luar tempat itu hgarus ada izin dinas peternakan setempat.
2. Hewan yang dicurigai sakit antraks tidak boleh disembelih.
3. Daging hewan yang dicurigai sakit antraks tidak boleh dikonsumsi.
4. Tidak boleh sembarangan memandikan orang yang meninggal karena sakit antraks.
5. Dilarang memproduksi barang yang berasal dari kulit, tanguk, bulu, atau tulang hewan yang sakit atau mati karena antraks.
6. Melaporkan ke puskesmas atau dinas peternakan setempat apabila menemukan ada hewan yang diduga menderita antraks.
7. Melakukan vaksinasi antraks pada hewan ternak.
2.2 Antrax di Industri
Antraks di daerah industri juga sebagian besar berbentuk antraks kulit, namun mempunyai risiko lebih besar untuk mendapat antraks pulmonal dibandingkan di daerah pedesaan. Penularan langsung antar manusia atau antar binatang tak terjadi sepanjang tindakan universal precaution dilakukan dengan baik.
Di Amerika Serikat terdapat 400 kasus antraks selama 1845-1955. Delapan puluh persen penderita mempunyai riwayat kontak dengan wol, bulu kambing, atau produk impor lainnya dari Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Pada tahun 1978 dilaporkan juga terjadi enam kasus antraks yang menimpa pekerja pertanian dan pabrik tekstil.
Antrax yang biasanya terjadi pada industri adalah jenis antrax paru / pulmonal yang terjadi karena pekerja menghisap spora yang terdapat pada bahan utama produksi tekstil. Antraks pulmonal atau lebih tepatnya antraks inhalasi biasanya fatal walaupun telah diberi antibiotika dan pengobatan yang intensif; hal ini yang menjadi salah satu alasan mengapa kuman antraks dipakai sebagai senjata biologis. Pada wabah di Sverdlovsk, Rusia tahun 1979, hanya seperlima kasus antraks inhalasi yang sembuh. Masa inkubasi antraks inhalasi tergantung dosis spora yang terhisap. Umumnya masa inkubasinya 10 hari, tetapi dapat pula mencapai 6 minggu. Spora yang terhisap akan difagositosis dan terbawa ke kelenjar limfe mediastinum dan peribronkial menyebabkan mediastinitis hemorhagik. Gejala awal antraks inhalasi menyerupai infeksi viral saluran pernafasan atas akut berupa demam, batuk kering, mialgia dan kelemahan. Secara radiologis tampak pelebaran mediastinum dan efusi pleura. Dalam 1-2 hari, penderita biasanya jatuh dalam dispnoe berat, stridor dan akhirnya kematian. Terjadinya kematian sejak timbulnya gejala klinik berkisar antara 1-10 rata dengan rata-rata 3 hari.
Antraks inhalasi dapat terjadi karena orang menghirup udara yang mengandung spora antraks. Sering terjadi pada pekerja pengumpul wool. Dimulai setelah masa inkubasi 1 - 6 hari dengan gajala yang tidak khas seperti lesu, lelah, nyeri otot dan demam. Mungkin juga batuk yang kering dan rasa tidak nyaman pada dada. Kemudian disusul dengan sesak nafas dan nyeri dada yang hebat. Kematian dapat terjadi secara mendadak karena lumpuhnya otot pernafasan oleh toksin antraks. Angka kematian akibat antraks inhalasi sekitar75 %. Bahkan antraks jenis ini sering terjadi pada daerah perang yang menggunakan antraks sebagai senjata biologis untuk melawan musuh.
Secara klasik gejala klinis antraks inhalasi bersifat bifasik Pada fase awal, 1-6 hari setelah masa inkubasi timbul gejala yang tidak khas berupa demam ringan, malaise, batuk nonproduktif, nyeri dada atau perut, dan biasanya tanpa disertai kelainan fisik, penyakit akan masuk ke dalam fase ke dua. Pada fase tersebut secara mendadak timbul demam, sesak napas akut, diaforesis, dan sianosis. Akibat pembesaran kelenjar getah bening, pelebaran mediastinum, dan edema subkutan di dada dan leher yang dapat menimbulkan obstruksi trakea maka stridor dapat terjadi.
Manifestasi klinis antraks inhalasi dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan manifestasi radiologis dan patologis dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Manifestasi Klinis Antraks Inhalasi
Stadium Pertama Stadium Kedua
onset awal (1-4 hari)
Malaise
Lemah
Mialgia
Batuk tidak produktif
Rasa tertekan di dada
Demam perburukan (24 jam)
Sesak napas akut
Sianosis
Stridor
Diaphoresis
DemamPerdarahan mediastinal
Pelebaran mediastinal
Meningismus, Septik syok,
Koma
Tabel 2. Manifestasi Radiologis dan Patologis Antraks Inhalasi
Manifestasi
Radiologi, Pelebaran mediastinum, Efusi pleural
Pneumonia (jarang), Patologi, Perdarahan mediastinum,
Perdarahan difus limfadenitis, Edema mediastinum,
Leptomeningeal edema dan hemorhagis, Efusi pleura,
Meningitis hemorhagis
Pencegahan di tempat kerja dapat dilakukan dengan penggunaan APD yaitu masker pada saat pekerjaan berlangsung dan terutama pada bagian yang berhubungan dengan bahan dasar tekstil. Dilakukan dengan partisipasi pekerja dan kebijakan dari perusahaan terutama mengenai pengadaan, penggunaan dan pemanfaatan APD di lingkungan kerja.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Penyakit antrax yang sering terjadi di industri yaitu antrax inhalasi dengan gejala awal antraks inhalasi menyerupai infeksi viral saluran pernafasan atas akut berupa demam, batuk kering, mialgia dan kelemahan. Antraks inhalasi dapat terjadi karena orang menghirup udara yang mengandung spora antraks. Sering terjadi pada pekerja pengumpul wool. Dimulai setelah masa inkubasi 1 - 6 hari dengan gajala yang tidak khas seperti lesu, lelah, nyeri otot dan demam. Mungkin juga batuk yang kering dan rasa tidak nyaman pada dada. Kemudian disusul dengan sesak nafas dan nyeri dada yang hebat. Kematian dapat terjadi secara mendadak karena lumpuhnya otot pernafasan oleh toksin antraks.
Pencegahan dapat dilakukan dengan penggunaan APD yaitu masker pada saat pekerjaan berlangsung dan terutama pada bagian yang berhubungan dengan bahan dasar tekstil.
3.2 Saran
Saran yang dapat diberikan oleh penulis terutama untuk mencegah terjadinya dan penularan antrax khususnya di kawasan industri tekstil yaitu dengan penggunaan APD ( masker ) bagi para pekerja dan pengawasan terhadap para pekerja dalam pemanfaatan APD ( masker ).
DAFTAR PUSTAKA
Widoyono. 2008. Penyakit Tropis. Jakarta: Erlangga.
Suyono, Joko. 1995. Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.
Sjahrurachman, Agus Antraks. Cermin Dunia Kedokteran 2007; 154 :24 – 28.
T. Pohan, Herdiman. Pathogenesis, Diagnosis and Treatment of Anthrax. Majalah Kedokteran Indonesia 2005; 55: 24 – 29.
Priyonggo,Reko. 2007. Mewaspadai Penyakit Antraks. http://www.indomedia.com/poskup/2007/05/28/edisi28/opini.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar